Apa itu Ta'aruf?

Secara bahasa ta'aruf bisa bermakna ‘berkenalan’ atau ‘saling mengenal’. Asalnya berasal dari akar kata ta’aarafa..

Adab Mencari Ilmu

Ilmu yang wajib dicari ada 3 macam, sesuai hadits عَنْ ‏ ‏عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ ‏ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏قَالَ ‏ ‏الْعِلْمُ ثَلَاثَةٌ وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ‏ ‏فَضْلٌ ‏ ‏آيَةٌ مُحْكَمَةٌ ‏ ‏أَوْ ‏ ‏سُنَّةٌ ‏ ‏قَائِمَةٌ أَوْ ‏ ‏فَرِيضَةٌ ‏ ‏عَادِلَةٌ ۞ رواه أبى داود كتاب الفرائض Sesunguhnya Rasulullah SAW bersabsa : “Ilmu itu ada tiga, selain tiga itu adalah lebihan ( boleh dicari boleh tidak , dicari lebih utama), yaitu: Ayat yang menghukumi (al Qur’an); Sunnah yang tegak (Al hadist/ sunnah Nabi); Ilmu bagi waris yang adil”

15 Langkah Efektif Untuk Menghafal Al Qur'an

”Sesuatu yang paling berhak dihafal adalah Al Qur’an, karena Al Qur’an adalah Firman Allah, pedoman hidup umat Islam, sumber dari segala sumber hukum, dan bacaan yang paling sering dulang-ulang oleh manusia

Resensi Novel Negeri 5 Menara

Novel yang satu ini bisa dikatakan novel religious kontemporer bertemakan pendidikan yang paling laris dicari pembaca. Novel Negeri 5 Merupakan rangkaian pertama dari trilogy karya A. Fuadi

Ibnu Batutah

DIANGGAP SEBAGAI PELOPOR PENJELAJAH ABAD 14 YANG BELUM TERTANDINGI. SEKALIPUN ADA MARCOPOLO YANG JUGA MELAKUKAN PENJELAJAHAN DUNIA, NAMUN MASIH TIDAK SEBANDING DENGAN IBNU BATUTAH!

Kamis, 20 Maret 2014

Doa Ketika Memakai dan Melepas Pakaian

Doa Ketika Memakai Pakaian Baru

Alloohumma Lakal Hamdu Anta Kasautaniih, As-Aluka Min Khoiri Wa Khoiri Maa Huwa Lah. Wa’a-Uudzubika Min Syarrihi Wa Syarri Maa Huwa Lah
اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ كَسَوْتَنِيهِ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ وَخَيْرِ مَا صُنِعَ لَهُ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ
Artinya : “Ya Allah segala puji bagimu yang telah memberikan pakaian ini , sesungguhnya aku memohon kepadaMu dari kebaikan pakaian ini dari kebaikan yang dibuat untuknya. Dan aku berlindung kepadaMu dari kejahatan pakaian ini dan kejahatan yang dipakai ini dibuat untuknya

Doa Ketika Memakai Pakaian Lama

Alhamdulillaahil Ladzii Kasaanii Haadzaa Wa Rozaqonihii Min Ghoiri Haulin Minnii Walaa Quwwah
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى كَسَانِى هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّ
Artinya : “Segala puji bagi Allah yang memberi pakaian ini kepadaku sebagai rezeki dari-Nya tanpa ada daya dan kekuatan dariku.”

Doa Ketika Melepas Pakaian

Bismillaahil Ladzii Laa Ilaaha Illaa Huwa
بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لاَ إِلَهَ إِلأَ هُوَ. رواه ابن السني عن معاذ
Artinya : “Dengan nama Allah yang tiada Tuhan selain Dia.”

Sumber : http://www.duniainter.net/doa-ketika-memakai-dan-melepas-pakaian/

Do'a Sebelum dan Sesudah Belajar

Do’a Sebelum Belajar

رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا، وَارْزُقْنِيْ فَهْمًا وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الصَّالِحِيْنَ
Robbii Zidnii ‘Ilmaa, Warzuqnii Fahmaa, Waj’alnii Minash-Shoolihiin Amiin Ya Robbal ‘Aalamiin
Artinya : Ya Alloh Tambahkanlah aku ilmu, Dan berilah aku karunia untuk dapat memahaminya, Dan jadikanlah aku termasuk golongannya orang-orang yang shoolih. Ya Alloh kabulkanlah do’aku ini.

 Do’a Sesudah Belajar

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّـبَاعَه وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
Aallohumma Arinal Haqqo  Haqqon Warzuqnattibaa’ahu. Wa Arinalbaathila Baa-Thilan Warzuqnajtinaabahu
Artinya : Ya Alloh, tunjukkanlah kepada kami kebenaran sehinggga kami dapat mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami kejelekan sehingga kami dapat menjauhinya
Sumber : http://www.duniainter.net/doa-sebelum-dan-sesudah-belajar/

Biografi Singkat Imam Syafi’i

Imam Asy-Syafi`i Imam Ahlus Sunnah
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i”.
NASAB BELIAU
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syaafi’ bin As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada Abdu Manaf, sedangkan Al-Muththalib adalah saudaranya Hasyim (bapaknya Abdul Muththalib).
TAHUN DAN TEMPAT KELAHIRAN
Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada tahun 150 H. Saat beliau dilahirkan ke dunia oleh ibunya yang tercinta, bapaknya tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah mendahuluinya dalam usia yang masih muda. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya membawa pindah ke kota kelahiran nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, Makkah Al Mukaramah.
PERTUMBUHANNYA
Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau ikut bergabung bersama teman-teman sebaya belajar memanah dengan tekun dan penuh semangat, sehingga kemampuannya mengungguli teman-teman lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini, hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya tepat mengenai sasaran dan hanya satu yang meleset.
Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya’ir sampai beliau memiliki kemampuan yang sangat menakjubkan dan menjadi orang yang terdepan dalam cabang ilmu tersebut. Kemudian tumbuhlah di dalam hatinya rasa cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun mempelajari dan menekuni serta mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau menjadi pemimpin dan Imam atas orang-orang
KECERDASANNYA
Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada hambanya sebagai nikmat yang sangat besar. Di antara hal-hal yang menunjukkan kecerdasannya:
1. Kemampuannya menghafal Al-Qur’an di luar kepala pada usianya yang masih belia, tujuh tahun.
2. Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta’ karya Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas pada usia sepuluh tahun.
3. Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas dari Imam Asy-Syafi`i.
4. Beliau diberi wewenang berfatwa pada umur 15 tahun.
Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Asy-Syafi`i: “Berfatwalah wahai Abu Abdillah, sungguh demi Allah sekarang engkau telah berhak untuk berfatwa.”
MENUTUT ILMU
Beliau mengatakan tentang menuntut ilmu, “Menuntut ilmu lebih afdhal dari shalat sunnah.” Dan yang beliau dahulukan dalam belajar setelah hafal Al-Qur’an adalah membaca hadits. Beliau mengatakan, “Membaca hadits lebih baik dari pada shalat sunnah.” Karena itu, setelah hafal Al-Qur’an beliau belajar kitab hadits karya Imam Malik bin Anas kepada pengarangnya langsung pada usia yang masih belia.
GURU-GURU BELIAU
Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka adalah:
1. Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah
2. Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri
3. Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i
4. Sufyan bin Uyainah
5. Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain.
Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah:
1. Malik bin Anas
2. Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany
3.Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far dan Ibrahim bin Sa’ad serta para ulama yang berada pada tingkatannya
Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di antaranya;
1.Mutharrif bin Mazin
2.Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya.
Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:
1.Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak.
2.Ismail bin Ulayah.
3.Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.
MURID-MURID BELIAU
Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:
1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.
2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
3. Ishaq bin Rahawaih,
4. Harmalah bin Yahya
5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.
KARYA BELIAU
Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima’ul Ilmi.
PUJIAN ULAMA PARA ULAMA KEPADA BELIAU
Benarlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,
“Barangsiapa yang mencari ridha Allah meski dengan dibenci manusia, maka Allah akan ridha dan akhirnya manusia juga akan ridha kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi 2419 dan dishashihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 6097).
Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan ini dengan menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus dibenci oleh manusia. Namun keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan manfaat yang banyak. Imam Asy-Syafi`i yang berjalan dengan lurus di jalan-Nya, menuai pujian dan sanjungan dari orang-orang yang utama. Karena keutamaan hanyalah diketahui oleh orang-orang yang punya keutamaan pula.
Qutaibah bin Sa`id berkata: “Asy-Syafi`i adalah seorang Imam.” Beliau juga berkata, “Imam Ats-Tsauri wafat maka hilanglah wara’, Imam Asy-Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila Imam Ahmad bin Hambal wafat maka nampaklah kebid`ahan.”
Imam Asy-Syafi`i berkata, “Aku di Baghdad dijuluki sebagai Nashirus Sunnah (pembela Sunnah Rasulullah).”
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Asy-Syafi`i adalah manusia yang paling fasih di zamannya.”
Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak ada seorangpun yang berbicara dengan pendapatnya -kemudian beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik, dan Abu Hanifah,- melainkan Imam Asy-Syafi`i adalah yang paling besar ittiba`nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dan paling sedikit kesalahannya.”
Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku tidak mengetahui pada Asy-Syafi`i satu ucapanpun yang salah.”
Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Asy-Syafi`i, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafi`i adalah yang paling faqih di antara mereka.”
PRINSIP AQIDAH BELIAU
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.
Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,
“Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatu pun, dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah kalamulah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”
PRINSIP DALAM FIQIH
Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”
Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a’laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”
Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”
SIKAP IMAM ASY-SYAFI`I TERHADAP AHLUL BID’AH
Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid’ah.”
Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.”
Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”
PESAN IMAM ASY-SYAFI`I
“Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”
WAFAT BELIAU
Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54 tahun (Siyar 10/76). Meski Allah memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia, umur yang demikian termasuk masih muda. Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya dirasakan kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama mengatakan, “Imam Asy-Syafi`i diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek.”
KATA-KATA HIKMAH IMAM ASY-SYAFI`I
“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”.

Sumber : http://alimcihui.wordpress.com/abu-nawas/biografi-singkat-imam-syafii/

Kamis, 06 Maret 2014

Menjawab Syubhat Syi’ah: Perbedaan Taqiyah Dan Tauriyah

Oleh: Syaikh Ali bin Hasan bin Abdil Hamid Al Halabi
Hampir-hampir tidak pernah berhenti membuat heran, orang-orang (Syi’ah) yang senantiasa berusaha mengklaim benarnya madzhab taqiyah yang batil nan menyedihkan itu, mereka berkata: “Nabi (Shallallahu’alaihi Wasallam) juga mempraktekkan taqiyah”. Mereka bersandar pada kisah-kisah sirah dan serajah yang sebenarnya tidak shahih, yang kisah-kisah tersebut tersebar luas di kalangan para penceramah dan tukang cerita.
Diantaranya kisah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika pasukan kafir sedang mencari rute perjalanan Nabi dan pasukannya menuju perang Badar, beliau ditanya oleh mereka: “kalian dari mana?”, lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab:
نحن من ماء
kami dari air” [1]
kemudian orang Syi’ah menambahkan (alasan lain yang sebenarnya lebih lemah) dengan berkata: “taqiyah itu disyariatkan oleh agama kita (Islam). Taqiyah itu bukan hanya milik madzhab Syi’ah. Ini adalah bentuk pemahaman yang keliru yang beredar di jalan, bahwa taqiyah adalah milik madzhab Syi’ah. Bukan, itu bukan hanya milik madzhab Syi’ah. Buktinya ini ada dalam ayat Qur’an
إلا من أكره وقلبه مطمئن بالإيمان
kecuali bagi orang yang dipaksa (untuk mengatakan kekafiran) namun hatinya tetap kokoh dalam iman‘” [selesai].
dan kemudian mereka juga berkilah bahwa (perbedaan antara sunni dan syiah dalam masalah taqiyah, pent.) adalah hanya masalah perbedaan istilah.
Jawaban terhadap alasan-alasan yang lemah dan rendahan tersebut dari beberapa sisi:
  1. Kisah “min maa-in” (dari air), walaupun banyak disebutkan dalam kitab-kitab, tidak pernah diketahui ada sanadnya yang shahih ataupun hasan.
  2. Para ulama yang menyebutkan kisah ini dalam kitab-kitab mereka, mereka murni hanya dalam rangka menceritakan sejarah. Tidak pernah sama sekali menjadikannya dalil yang membenarkan madzhab ahlul bid’ah atau kaum sesat, juga tidak pernah digunakan untuk membenarkan jalannya orang-orang tukang dusta dan penipu
  3. Diantara para ulama yang berdalil dengan kisah ini, konteks pembahasan fiqih, seperti Asy Syathibi, Ibnul Qayyim dan lainnya mereka hanya menjadikan ini dalil bolehnya tauriyah[2], bukan taqiyah[3]. Perbedaan di antara keduanya bagaikan langit dan bumi, dan menisbatkannya kepada agama kita (saya tidak katakan menisbatkan pada ahlussunnah), sebagaimana menisbatkan sumur kepada langit (baca: sumur merupakan bagian dari langit).
  4. Tauriyah (bukan taqiyah) itu penggunaannya dalam kisah tersebut, jika memang kisah itu shahih, ia digunakan terhadap orang kafir bukan sesama Muslim.
  5. Sementara praktek Syi’ah dengan taqiyah-nya (bukan tauqiyah) mereka gunakan itu terhadap musuh mereka (yang notabene Muslim), terutama An Nawashib, yang sebenarnya mereka maksud (dengan An Nawashib itu) adalah Ahlussunnah.
  6. Tauriyah menurut Ahlussunnah itu sekedar perkataan yang mubah saja hukumnya. Sementara Syi’ah menganggap taqiyah itu bagian dari rukun agama mereka dan hal yang paling asas (penting dan mendasar) dalam agama mereka.
  7. Tauriyah menurut Ahlussunnah termasuk istitsna’ (pengecualian) dan digunakan hanya jika dibutuhkan. Sementara menurut Syi’ah, taqiyah itu termasuk perkara wajib yang terus-menerus hukum wajibnya. Dalam kitab Ushulul Kafi (1/222)
    يقول أبو عبدالله : إنَّكم على دينٍ مَن كتمه أعزَّه الله، ومن أذاعه أذلَّه الله
    “Abu Abdillah berkata: sesungguhnya kalian berada dalam agama yang barangsiapa menyembunyikannya, maka Allah akan meninggikannya, barangsiapa yang memberitahunya maka Allah merendahkannya”
  8. Adapun berdalil dengan ayat yang mulia yang disebutkan di atas, untuk mengklaim benarnya taqiyah, maka ini pendalilan yang batil. Berdalil dengan yang shahih untuk membenarkan hal yang qabih (jelek) yang merupakan perkara bid’ah yang menyesatkan. Dan tidak samar lagi bagi penuntut ilmu syar’i bahwa masalah al ikrah (pemaksaan) itu ada pembahasan hukum fiqih dan pembahasan aqidah tersendiri, yang memiliki kaidah-kaidah dan syarat-syarat, dan pada dasarnya tidak memiliki kaitan dengan pembahasan tauriyah, apalagi taqiyah.
  9. Tauriyah itu kejujuran, sedangkan taqiyah itu kedustaan. Oleh sebab itu Imam Malik ketika ditanya tentang kaum Rafidhah, beliau menjawab:
    لا تُكلِّمْهم ، ولا تَرْوِ عنهم؛ فإنَّهم يَكْذبون
    “jangan bicara dengan mereka, jangan meriwayatkan hadits dari mereka, karena mereka itu pendusta”
    Dan Imam Asy Syafi’i juga berkata:
    لَم أرَ أحدًا أشهدَ بالزُّور من الرافضة
    “tidak pernah saya melihat yang paling gemar bersaksi palsu melebihi orang Rafidhah”
  10. Yang dikatakan dalam tauriyah itu hal yang berbeda (dengan yang dipahami), namun keduanya memiliki suatu makna yang sama. Berbeda dengan taqiyah yang benar-benar jelas perbedaannya.
Maka, masalah perbedaan istilah mana yang dimaksud? Apakah seperti ini? Yaitu memutar-balikkan al haq dengan kebatilan? Atau menyamarkan kebatilan dengan kebenaran? Semoga Allah merahmati seseorang yang mengatakan perkataan (yang pas sekali dengan kasus ini) :
شكونا إليهم خَرابَ (العراقِ!) **** فعابُوا علينا شُحومَ البَقَرْ!!
“kami mengeluhkan kepada mereka kekacauan di Irak”
“namun mereka mencoreng kami dengan lemak sapi”
Sungguh Allah lah yang Maha Pemberi Petunjuk kepada jalan yang lurus

Catatan kaki (dari penerjemah) :
[1] Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memaksudkan “bahwa kami diciptakan dari air mani”, namun zhahir ucapannya yang dipahami orang kafir tersebut adalah “kami datang dari daerah yang banyak airnya”
[2] tauriyah adalah seseorang mengucapkan perkataan namun maksudnya berbeda dengan zhahir ucapannya. contohnya lihat poin [1].
[3] taqiyah adalah seseorang menampakkan perkataan dan perbuatan yang sama sekali berbeda dengan apa yang ada dalam hatinya. misalnya seseorang berkata, “saya tidak setuju dengan nikah mut’ah (nikah kontrak)”, padahal dalam hatinya mengatakan “menurut saya nikah mut’ah itu halal”.
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.I

Menjawab Syubhat Syi’ah: Perbedaan Taqiyah Dan Tauriyah


Oleh: Syaikh Ali bin Hasan bin Abdil Hamid Al Halabi
Hampir-hampir tidak pernah berhenti membuat heran, orang-orang (Syi’ah) yang senantiasa berusaha mengklaim benarnya madzhab taqiyah yang batil nan menyedihkan itu, mereka berkata: “Nabi (Shallallahu’alaihi Wasallam) juga mempraktekkan taqiyah”. Mereka bersandar pada kisah-kisah sirah dan serajah yang sebenarnya tidak shahih, yang kisah-kisah tersebut tersebar luas di kalangan para penceramah dan tukang cerita.
Diantaranya kisah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika pasukan kafir sedang mencari rute perjalanan Nabi dan pasukannya menuju perang Badar, beliau ditanya oleh mereka: “kalian dari mana?”, lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab:
نحن من ماء
kami dari air” [1]
kemudian orang Syi’ah menambahkan (alasan lain yang sebenarnya lebih lemah) dengan berkata: “taqiyah itu disyariatkan oleh agama kita (Islam). Taqiyah itu bukan hanya milik madzhab Syi’ah. Ini adalah bentuk pemahaman yang keliru yang beredar di jalan, bahwa taqiyah adalah milik madzhab Syi’ah. Bukan, itu bukan hanya milik madzhab Syi’ah. Buktinya ini ada dalam ayat Qur’an
إلا من أكره وقلبه مطمئن بالإيمان
kecuali bagi orang yang dipaksa (untuk mengatakan kekafiran) namun hatinya tetap kokoh dalam iman‘” [selesai].
dan kemudian mereka juga berkilah bahwa (perbedaan antara sunni dan syiah dalam masalah taqiyah, pent.) adalah hanya masalah perbedaan istilah.
Jawaban terhadap alasan-alasan yang lemah dan rendahan tersebut dari beberapa sisi:
  1. Kisah “min maa-in” (dari air), walaupun banyak disebutkan dalam kitab-kitab, tidak pernah diketahui ada sanadnya yang shahih ataupun hasan.
  2. Para ulama yang menyebutkan kisah ini dalam kitab-kitab mereka, mereka murni hanya dalam rangka menceritakan sejarah. Tidak pernah sama sekali menjadikannya dalil yang membenarkan madzhab ahlul bid’ah atau kaum sesat, juga tidak pernah digunakan untuk membenarkan jalannya orang-orang tukang dusta dan penipu
  3. Diantara para ulama yang berdalil dengan kisah ini, konteks pembahasan fiqih, seperti Asy Syathibi, Ibnul Qayyim dan lainnya mereka hanya menjadikan ini dalil bolehnya tauriyah[2], bukan taqiyah[3]. Perbedaan di antara keduanya bagaikan langit dan bumi, dan menisbatkannya kepada agama kita (saya tidak katakan menisbatkan pada ahlussunnah), sebagaimana menisbatkan sumur kepada langit (baca: sumur merupakan bagian dari langit).
  4. Tauriyah (bukan taqiyah) itu penggunaannya dalam kisah tersebut, jika memang kisah itu shahih, ia digunakan terhadap orang kafir bukan sesama Muslim.
  5. Sementara praktek Syi’ah dengan taqiyah-nya (bukan tauqiyah) mereka gunakan itu terhadap musuh mereka (yang notabene Muslim), terutama An Nawashib, yang sebenarnya mereka maksud (dengan An Nawashib itu) adalah Ahlussunnah.
  6. Tauriyah menurut Ahlussunnah itu sekedar perkataan yang mubah saja hukumnya. Sementara Syi’ah menganggap taqiyah itu bagian dari rukun agama mereka dan hal yang paling asas (penting dan mendasar) dalam agama mereka.
  7. Tauriyah menurut Ahlussunnah termasuk istitsna’ (pengecualian) dan digunakan hanya jika dibutuhkan. Sementara menurut Syi’ah, taqiyah itu termasuk perkara wajib yang terus-menerus hukum wajibnya. Dalam kitab Ushulul Kafi (1/222)
    يقول أبو عبدالله : إنَّكم على دينٍ مَن كتمه أعزَّه الله، ومن أذاعه أذلَّه الله
    “Abu Abdillah berkata: sesungguhnya kalian berada dalam agama yang barangsiapa menyembunyikannya, maka Allah akan meninggikannya, barangsiapa yang memberitahunya maka Allah merendahkannya”
  8. Adapun berdalil dengan ayat yang mulia yang disebutkan di atas, untuk mengklaim benarnya taqiyah, maka ini pendalilan yang batil. Berdalil dengan yang shahih untuk membenarkan hal yang qabih (jelek) yang merupakan perkara bid’ah yang menyesatkan. Dan tidak samar lagi bagi penuntut ilmu syar’i bahwa masalah al ikrah (pemaksaan) itu ada pembahasan hukum fiqih dan pembahasan aqidah tersendiri, yang memiliki kaidah-kaidah dan syarat-syarat, dan pada dasarnya tidak memiliki kaitan dengan pembahasan tauriyah, apalagi taqiyah.
  9. Tauriyah itu kejujuran, sedangkan taqiyah itu kedustaan. Oleh sebab itu Imam Malik ketika ditanya tentang kaum Rafidhah, beliau menjawab:
    لا تُكلِّمْهم ، ولا تَرْوِ عنهم؛ فإنَّهم يَكْذبون
    “jangan bicara dengan mereka, jangan meriwayatkan hadits dari mereka, karena mereka itu pendusta”
    Dan Imam Asy Syafi’i juga berkata:
    لَم أرَ أحدًا أشهدَ بالزُّور من الرافضة
    “tidak pernah saya melihat yang paling gemar bersaksi palsu melebihi orang Rafidhah”
  10. Yang dikatakan dalam tauriyah itu hal yang berbeda (dengan yang dipahami), namun keduanya memiliki suatu makna yang sama. Berbeda dengan taqiyah yang benar-benar jelas perbedaannya.
Maka, masalah perbedaan istilah mana yang dimaksud? Apakah seperti ini? Yaitu memutar-balikkan al haq dengan kebatilan? Atau menyamarkan kebatilan dengan kebenaran? Semoga Allah merahmati seseorang yang mengatakan perkataan (yang pas sekali dengan kasus ini) :
شكونا إليهم خَرابَ (العراقِ!) **** فعابُوا علينا شُحومَ البَقَرْ!!
“kami mengeluhkan kepada mereka kekacauan di Irak”
“namun mereka mencoreng kami dengan lemak sapi”
Sungguh Allah lah yang Maha Pemberi Petunjuk kepada jalan yang lurus

Catatan kaki (dari penerjemah) :
[1] Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memaksudkan “bahwa kami diciptakan dari air mani”, namun zhahir ucapannya yang dipahami orang kafir tersebut adalah “kami datang dari daerah yang banyak airnya”
[2] tauriyah adalah seseorang mengucapkan perkataan namun maksudnya berbeda dengan zhahir ucapannya. contohnya lihat poin [1].
[3] taqiyah adalah seseorang menampakkan perkataan dan perbuatan yang sama sekali berbeda dengan apa yang ada dalam hatinya. misalnya seseorang berkata, “saya tidak setuju dengan nikah mut’ah (nikah kontrak)”, padahal dalam hatinya mengatakan “menurut saya nikah mut’ah itu halal”.
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Sejarah Hidup Imam Al Ghazali (2)


Karya-Karyanya*


*Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
  1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
  2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
  3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
  4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
  5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).
Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.”(Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).
Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.
(2) Mahakun Nadzar.
(3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
(4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
(5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
(6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
(7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
(8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).
Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.
(9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
(10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
(11) Qanun At Ta’wil.
(12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
(13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.
(14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
(15) Ar Risalah Alladuniyah.
(16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:
Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala19/334).
Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalamSiyar A’lam Nubala 19/339-340).
Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.
(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
(18) Al Wasith.
(19) Al Basith.
(20) Al Wajiz.
(21) Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.

Aqidah dan Madzhab Beliau

Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”
Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.
Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.
Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).
Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:
Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.
Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).
Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitabBughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”
***

Sejarah Hidup Imam Al Ghazali (1)





Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengenalnya. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi,Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).

Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu

Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dariThabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki,Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.

Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya

Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.”(Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).

Polemik Kejiwaan Imam Ghazali

Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalamSiyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

Masa Akhir Kehidupannya

Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
-bersambung insya Allah-

KATA BIJAK IMAM GHOZALI DAN IMAM SYAFI'I

Kata-Kata Bijak Imam Syafi’i dan Imam Ghazali


IMAM GHAZALI

  • Apabila secara kebetulan kamu menjadi orang yang dekat dengan penguasa, maka berhati-hatilah kamu seolah-olah kamu sedang berdiri di atas pedang yang tajam sekali.
  • Jangan berteman yang hanya mau menemanimu ketika kamu sehat atau kaya, karena tipe teman seperti itu sungguh berbahaya sekali bagi kamu dibelakang hari.
  • Hal-hal yang bisa menyebabkan badan lemah antara lain sebagai berikut: Banyak makan makanan yang rasanya masam, sering bersedih, banyak minum air tetapi tidak makan sesuatu, serta sering melakukan hubungan seksual.
  • Barang siapa tidak peduli terhadap nasib agama, berarti ia tidak punya agama, barang siapa yang semangatnya tidak berkobar-kobar jika agama Islam ditimpa suatu bencana, maka Islam tidak butuh kepada mereka.
  • Orang-orang yang tidak mengikuti keinginan-keinginan hawa nafsunya, maka tidak akan mendapat pujian dari orang banyak.
  • Aku akan mencari ilmu hanya karena Allah, dan aku tidak akan mencari jika untuk selain Allah.
  • Kecintaan kepada Allah melingkupi hati, kecintaan ini membimbing hati dan bahkan merambah ke segala hal.
  • Aku tak suka memakai baju baru, hal itu kulakukan karena aku takut timbul iri hati tetangga-tetanggaku.
  • Teman yang tidak membabantu kesulitan seperti halnya musuh. Tanpa saling membantu maka hubungan teman tak akan lama. Telah kucari teman sejati dalam setiap masa, akan tetapi usahaku itu siasia belaka.


IMAM SYAFI’I

  • Orang yang hanya sehari-harinya hanya sibuk mencari uang untuk kesejahteraan keluarganya, maka mustahil ia mendapat ilmu pengetahuan.
  • Kulupakan dadaku dan kubelenggu penyakit tamakku, karena aku sadar bahwa sifat tamak bisa melahirkan kehinaan.
  • Aku tidak pernah berdialog dengan seseorang dengan tujuan aku lebih senang jika ia berpendapat salah.
  • Setiap manusia mempunyai orang yang dicintai dan yang dibenci. Tapi bagimu, jika ada maka berkumpullah kamu dengan orang-orang yang bertaqwa.
  • Jika Allah bersamamu, maka jangan takut kepada siapa saja, akan tetapi jika Allah sudah tidak lagi bersamamu, maka siapa lagi yang bisa diharapkan olehmu?
  • Ciri-ciri ulama akhirat antara lain: dia sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, bahkan bersikeras untuk tidak bertaqwa sama sekali. Apabila ditanya oleh orang tentang segala sesuatu yang diketahui baik yang bersumber dari Al Qurán, hadits, ijma’dan kiyas, maka ia menjelaskan sesuai dengan kemampuannya. Sebaliknya, jika ia tidak mengetahui secara pasti, maka dengan jujur ia berkata : aku tidak tahu.